Oleh: Benyamin Lagowan
_(Putra Pariwisata Pertama Jayawijaya dan Runner Up Putra Pariwisata Papua 2009)_
*1. PENDAHULUAN*
Festival Budaya Lembah Baliem (FBLB) merupakan pergelaran atraksi seni budaya masyarakat adat Lembah Baliem yang rutin digelar setiap tahun oleh pemerintah Kabupaten Jayawijaya sejak lama. Penulis sebagai generasi muda, baru mengenal secara baik perhelatan FBLB sejak tahun 2009 di masa awal kepemimpinan Bupati Jayawijaya bapak John Wempi Wetipo SH,MH (JWW) dan John Richard Banua SE, M.Si (JRB). Pemerintah Kabupaten Jayawijaya di era Pak John Wempi Wetipo (kini Wamendagri) aktif dan gencar mempromosikan potensi kearifan local Wamena dengan menggelar FBLB secara rutin baik di dalam negeri maupun ke luar negeri. Hal itu selain oleh karena prospek budaya Masyarakat adat Jayawijaya yang unik dan potensial tetapi juga didukung penuh latar belakang Pendidikan pak JWW kala itu yang berasal dari jurusan ilmu pariwisata. Sebagai bukti, saya sendiri terpilih menjadi pemenang konteks pemilihan putra pariwisata Jayawijaya pertama dan Lidia Kogoya sebagai putri Pariwisata Jayawijaya pertama tahun 2009.
Dalam grand final yang diadakan di Gedung social GKI Wamena (sekarang Gedung Authossa) sekitar bulan Juli 2009 yang dihadiri langsung oleh bupati Jayawijaya, pak JWW secara langsung menyematkan mahkota burung cenderawasih di kepala saya setelah nama saya diumumkan juri sebagai pemenang/ juara 1 mewakili SMA YPPK St. Thomas Wamena. Tak lama berselang, saya didukung penuh Pemda Jayawijaya mengikuti iven pemilihan putra pariwisata antar kabupaten Tingkat Provinsi Papua di Jayapura tahun 2009. Bahkan setahun setelah itu, tepatnya tahun 2011, saya juga masuk sebagai anggota tim tari termuda yang berangkat ke empat negara Eropa (Jerman, Belgia, Luxemburg dan Inggris) untuk mempromosikan potensi Pariwisata Jayawijaya ke mancanegara. Bahkan keterpilihan saya dalam membintangi film Cinta Dari Wamena yang disyuting pada tahun 2010 dengan menampilkan atraksi perang suku juga panorama indah alam landscape Kabupaten Jayawijaya menjadi bukti keseriusan pemerintah Kabupaten Jayawijaya dalam mengembangkan potensi sektor pariwisata dan kebudayaan Masyarakat Jayawijaya.
Semenjak itu hingga saat ini, FBLB telah dijadikan iven tahunan yang paling meriah selain karnaval karena berhasil menggaet datangnya para pelancong local, nasional hingga mancanegara. Terlepas dari perdebatan siapa yang diuntungkan dari pergelaran rutinan FBLB tersebut, gelaran iven FBLB ini memang layak didiberikan apresiasi oleh semua pihak terutama untuk atraksi tari-tarian, kuliner local, kerajinan tangan, Garapan babi, olahraga tradisional, bakar batu, tradisi menganyam hingga atraksi lainnya. Sedangkan untuk atraksi perang-perangan atau perang suku menjadi pro dan kontra sejak lama karena dikhawatirkan akan merawat memori kolektif perang suku (tribal war) antar aliansi perang yang sudah dihentikan lewat pasifikasi oleh gereja melalui peran dan jasa para martir misionaris Katolik maupun CAMA pada masa-masa awal pendudukan Belanda akhir tahun 1950 dan awal tahun 1960 an.
*2. WEJANGAN ALM. GABRIEL LAGOWAN-KETUA DEWAN KESENIAN JAYAWIJAYA: TEATER PERANG-PERANGAN HARUSNYA BISA DIGANTI*
Pada tahun 2012 mendiang Ketua Dewan Kesenian dan Mantan Anggota DPRD Jayawijaya periode 1999-2004, Gabriel Lagowan dalam satu kesempatan di kediamannya di Jalan Sumatera Pasar Misi pernah menyampaikan sentilan bahwa sudah semestinya iven perang suku diganti dengan iven-ven lain yang lebih positif misalnya pergelaran lomba kuliner antar distrik, lomba pembukaan lahan pertanian antar sub suku, lomba penanaman berbagai varietas tanaman pangan atau bahkan lomba seni menganyam noken, ukir, lagu Bahasa daerah dan semacamnya. Menurutnya, pergelaran perang suku sudah tidak zamannya karena itu hanya akan merawat dan menjaga memori dendaman perang suku di masa lampau. Yang dicontohkan misalnya adalah kakunya relasi sosial antar Masyarakat Wouma dan Assolokobal maupun Welesi meski telah hidup berdekatan sejak lama. Bapak Gabriel mewanti jangan sampai di kesempatan perang suku itu, setiap suku yang hadir saling memantau dan memetakan kekuatan pasukan perang antar setiap aliansi. Sehingga mereka melakukan kalkulasi dan analisa kapan dan bagaimana satu aliansi akan melakukan serangan (invasi) ke aliansi lainnya sebagai balas dendam atas korban perang di masa lalu. Gabriel adalah salah satu kepala suku sekaligus kepala perang dari aliansi sub suku Wio Mukoko di Wouma yang selama hidupnya telah beberapa kali terlibat konflik perang suku yang laten.
*3. WEJANGAN ALM. NICO LOKOBAL - MANTAN ANGGOTA DPRD JAYAWIJAYA: PERANG SUKU HARUS DIHENTIKAN*
Pada tahun 2015 silam, budayawan Lembah Baliem, alm. Hun Nico. R. Lokobal pernah menyatakan agar pergelaran atraksi perang-perangan dihentikan saja karena menurutnya hanya akan menyuburkan dendaman konflik perang kronik antar suku. Senada dengan mendiang Gabriel, beliau menyatakan kekhawatiran atas sikap pemerintah yang hendak melestarikan budaya perang suku tanpa mengkaji dampak baik-buruknya terhadap kehidupan sosial keamanan dan kenyamanan hidup Masyarakat Wamena.
*4.WEJANGAN MANTAN WAKIL BUPATI JAYAWIJAYA- MARTHIN YOGOBI: ATRAKSI PERANG-PERANGAN HARUS DIAKHIRI PERDAMAINAN*
Pada even FBLB tahun lalu, mantan Wabup Jayawijaya bapak, Marthin Yogobi sempat meminta kepada penyelenggara FBLB Ke-31 Wosilimo agar ke depan sehabis atraksi perang suku harus diakhiri dengan upacara perdamaian atau rekonsiliasi. “ Kalo sudah perang maka harus dituntaskan dengan perdamaian, rangkaian ini harus disiapkan oleh group-group tari yang ada”, kata mantan Wakil bupati kala itu yang dipublikasi oleh rri.co.id wamena. “Jangan kita hanya menampilkan perang dan perang saja yang mengandung makna permusuhan sesame sehingga perang itu selalu terbuka peluang diantara Masyarakat Baliem” tambahnya dikutip dari media tersebut.
*5. TUJUH PERTIMBANGAN*
Tiga tokoh Masyarakat dan gereja Katolik ini menyatakan suatu keprihatinan yang serupa. Meski agak berbeda di narasi mantan Wabup Jayawijaya yang tak meminta meniadakan atraksi perang-perangan. Namun secara umum memiliki kekhawatiran yang sama bahwa atraksi perang suku berpotensi menyuburkan melegalkan, merawat dan memelihara tradisi perang suku yang dulu berhasil dihentikan secara perlahan oleh pihak misi dan Pemerintahan Hindia Belanda. Secara pribadi saya pun tidak mengharapkan atraksi perang suku dipertahankan karena beberapa pertimbangan berikut:
*Pertama* , Masyarakat antar aliansi akan saling memantau kekuatan aliansi musuh yang tampil di atraksi. *Kedua* , secara genetik atraksi perang suku akan semakin memelihara dan merawat budaya perang suku. Dimana nantinya kapan pun bisa memicu terjadinya konflik karena generasi masa kini mengetahui tata cara berperang yang dipelajari sebelum dan setelah pentas di Festival.
*Ketiga* , tiap aliansi akan berpeluang menceritakan Riwayat perang suku dulu tentang para korban dan kronologisnya. Hal semacam ini akan menghidupkan dan menurunkan dendaman kepada tiap generasi muda yang terlibat. Ceritera yang dimaksud disini misalnya, bapak/ Kakek buyutmu dulu dibunuh oleh suku dari distrik A, oleh keluarga marga B karena masalah ini dan itu dll dsb.
*Keempat* , atraksi perang suku akan terus menyuburkan sentimen dan konflik berbau Suku, Ras dan Agama (SARA) yang sebenarnya telah dilarang sesuai ketentuan peraturan perundang -undangan. Akibatnya integrasi social kehidupan berbangsa dan bernegara tidak akan terjalin secara maksimal.
*Kelima* , tingginya konflik perang suku akhir-akhir ini di Wamena tidak dapat dipisahkan dari pelembagaan secara formal atraksi perang suku sehingga pemerintah daerah Kabupaten Jayawijaya harus melakukan reevaluasi FBLB khsusunya untuk kategori perang suku (tribal War).
*Keenam* , Atraksi perang suku akan memotivasi para pasukan perang tiap aliansi-konfederasi untuk tetap melatih diri agar tetap memiliki kecapakan berperang, membuat dan memiliki peralatan perang tradisional semisal panah, busur, tombak, kapak, parang, bar sensor dll. Hal tersebut bersifat mistis karena akan ada semacam dorongan roh untuk membunuh bila sudah muncul niatan jahat. Bahkan akibat hal-hal remeh temeh.
*Ketujuh* , atraksi perang suku juga akan membuat para generasi muda terpancing untuk mempraktekkan atraksi perang secara langsung kepada pihak lawannya sebagai akibat dari rasa penasaran yang diperparah adanya dendaman masa lalu dan didapatkan secara genetik.
*6. SARAN PENUTUP*
Oleh karena tujuh poin penting di atas, maka untuk status kesinambungannya ke depan, Pemerintah Daerah perlu melakukan semacam riset atau kajian komprehensip mengenai :1) Dampak destruktif atraksi perang suku terhadap potensi terjadinya konflik perang suku sungguhan di antara aliansi yang terlibat perang di masa lalu; 2) Dampak ekonomi bagi masyarakat adat atas dihapusnya atraksi perang suku dari daftar kategori even FBLB yang akan ditampilkan; 3) Dampak berkurangnya jumlah wisatawan akibatnya dihapusnya kategori tribal war/ atraksi perang-perangan di FBLB. Sebelumnya pemerintah Daerah perlu mempublikasi besaran manfaat atau dampak positif dari atraksi perang suku secara ekonomi dan psikologis. Bilamana hasil kajiannya nanti memperlihatkan ada korelasi/ dampak destruksi pada terjadinya konflik perang suku, tanpa memberi kontribusi nyata secara signifikan pada peningkatan pendapatan Masyarakat lokal serta tidak berpengaruh pada angka kunjungan wisatawan. Namun makin hari terjadi peningkatan frekuensi perang suku dan konflik di Wamena yang dipicu oleh berbagai penyebab sepeleh, maka sudah semestinya teater perang suku dipertimbangkan untuk dihapus permanen dari panggung pergelaran FBLB tahunan. Apalagi bila dalam perang suku tersebut melibatkan para aktor yang kerap turut menjadi peserta dalam atraksi perang-perangan tahunan di FBLB, maka sudah semestinya dipertimbangkan untuk dihentikan.
Mengakhiri tulisan singkat ini, saya hendak mengingatkan kita semua, bahwa, semoga hanya Robert Gardner dan Karl G. Heider lewat filmnya “Dead Bird” pada tahun 1963 di sekitar bukit Werabaga yang dapat merekayasa drama perang suku antar suku Wilil-Himan dan Kossy-Alua untuk tujuan politik ekonomi Amerika Serikat atas wilayah Masyarakat adat Netherland Niew Guinea. Jangan Pemerintah Daerah Kabupaten Jayawijaya lagi mengobjekkan keunikan budaya dan hidup masyarakat Lembah Baliem seperti “burung yang mati akibat peperangan suku” untuk kepentingan politik ekonomi semata-barangkali sebenarnya tidak berpihak pada masyarakat adat yang sangat amat sederhana tetapi sudah luar biasa diakui dunia ini.
Semoga.
_Waena, 07 Agustus 2024_